Pada tahun 1935 terjadi polemic
diantara kalangan intelektual Amerika Serikat ( AS ) mengenai Ilmu Pengetahuan
Sosial yang lebih dikenal dengan Social Studies, kemudian hal tersebut
dipublikasikan oleh Organisasi yang bernama Nationa Council for The Sosial
Studies. tapi hal itu tidak berlansung lama karena menurut L.Tildsley hal itu
memberi tanda sejak awal pertumbuhannya bidang social studies dihadapkan kepada
tantangan untuk dapat membangun dirinya sebagai suatu disiplin yang solid.
Defenisi
tentang social studies menurut Edgar Bruce Wesley pada tahun 1937 ( Barr, Bart
dan Shermis, 1977:2) yaitu : The social Studies are the social sciences
simplified for pedagogical purpose” Ilmu Sosial itu yang disederhanakan untuk
tujuan pendidikan. Yang meliputi,aspek–aspek,seperti.ilmu,sejarah,ekonomi,politik,
sosiologi,antropologi,psikologi,geografi, dan filsafat, yang praktiknya
digunakan dalam pembelajaran di sekolah maupun perguruan tinggi. Pada
perkisaran tahun1940 – 1950 NCSS mendapat serangan yang berkisar tentang perlu
atau tidaknya Sosial Studies untuk remaja bersikap demokratis dan kritis,
sehingga munculah sikap penekanan terhadap fakta – fakta sejarah dan budaya
yang ada.
Namun
pada tahun 1960 timbul satu gerakan akademis yang lebih dikenal dengan the new
social studies yang dipelopori oleh sejarawan dan ahli – ahli ilmu social untuk
mengembangkan proyek yang menciptakan kurikulum dan memproduksi bahan belajar
yang sangat inovatif dan menantang dalam skala besar. Tapi sampai tahun 1970an
hal itu belum juga terwujud, tapi jika kembali pada penuturan Barr dkk 1977
yaitu dua visi yang berbeda dalam social studies yaitu citizhenship education (
pendidikan kewarganegaraan ) atau social studies Education ( Ilmu pendidikan social
) hal itu juga dipengaruhi oleh PD II.
Pada
tahun 1955 terjadi terobosan yang besar, berupa inovasi oleh Maurice Hunt dan
Lawrence metcalft yang mencoba cara baru dalam pengintegrasian pengetahuan dan
keterampilan ilmu social untuk tujuan citizhenship education, mengubah program
Sosial studies disekolah yang dahulunya Closed Area ( hal – hal yang tabu dalam
masyarakat ) menjadi refleksi rasional dalam mengupayakan siswa dapat mengambil
keputusan mengenai masalah – masalah public. Sehingga bisa melatih keterampilan
reflektif thinking ( berfikif reflek ) dan berfikir secara kritis.
Gerakan
the new social studies pada tahun 1960 masih belum efektif dalam mengajarkan
substansi perubahan sikap siswa, sehingga para sejarawan dan ahli – ahli ilmu
social bersatu untuk meningkatkan social studies kepada higher level of
intellectual pursuit yang melahirkan social science education.
Menurut
Barr dkk, mendefinisikan social studies dalam beberapa bagian yaitu :social
studies merupakan satu system pengetahuan yang terpadu, kedua misi utama social
studies adalah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang
demokratis, ketiga sumber utama konten social studies adalah social sciene dan
humanitier, keempat dalam upaya penyiapan warga Negara yang demokratis terbuka
kemungkinan perbedaan dalam orientasi, visi tujuan dan metode pembelajaran.
diantaranya lahirlah visi, misi dan strategi social studies itu adalah
1.
Sosial studies taught as citizenship transmission
2.
Sosial studies taught as social science
3.
Sosial studies taught as reflective inquiry.
Jika
dilihat dari definisi dan tujuan social studies maka terkandung beberapa hal,
pertama social studies merupakan mata pelajaran dasar diseluruh jenjang
pendidikan persekolahan, kedua tujuan utama mata pelajaran ini ialah
mengembangkan siswa untuk menjadi warga Negara yang memiliki pengetahuan,
nilai, sikap dan keterampilan untuk berperan serta dalam kehidupan
berdemokrasi. Ketiga konten pelajarannya digali dan diseleksi dari sejarah dan
ilmu – ilmu social. Keempat pembelajarannya menggunakan cara – cara yang
mencerminkan kesadaran pribadi, kemasyarakatan, pengalaman budaya, perkembangan
pribadi siswa.
Di
awal tahun 1994 the board of direction of the national council for the social
studies menerbitkan Dokumen resmi yang diberi nama Expectations of Exellence:
curriculum Standard for social studies. Dokumen ini yang sedang mewarnai
pemikiran praksis social studies di AS sampai saat ini. dalam dunia pendidikan
NCSS juga menggariskan bahwa dalam pendidikan mulai dari Taman kanak – kanak
sampai pendidikan menengah memiliki keterpaduan “ Knowledge,Skills, and
attitudes within and across disipliner “, pada kelas rendah ditekankan pada
social studies yang tidak mengikat atau bisa bertolak dari tema – tema
tertentu.
Ide
IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika
Serikat adalah social studies. Istilah tersebut pertama kali digunakan sebagai
nama sebuah lembaga yang diberi nama committee of social studies.
Lembaga ini merupakan himpunan
tenaga ahli yang berminat pada kurikulum ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah
dan ahli-ahli ilmu sosial yang mempunyai minat yang sama. Nama lembaga ini
kemudian dipergunakan untuk nama kurikulum yang mereka hasilkan, yakni
kurikulum social studies. Nama social studies makin terkenal ketika pemerintah
mulai memberikan dana untuk mengembangkan kurikulum tersebut. Kurikulum
tersebut ahirnya dikembangkan dengan nama kurikulum social studies. Di
Indonesia social studies dikenal dengan nama studi sosial. Dalam Kurikulum
1975, pendidikan ilmu sosial kemudian ditetapkan dengan nama Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS). IPS merupakan sebuah mata pelajaran yang dipelajari dari tingkat
pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi pada jurusan atau progrsam
studi tertentu.
Agar uraian mengenai latar belakang
lahirnya IPS lebih jelas, dalam paket ini dikemukakan pengalaman beberapa
negara yang memasukan IPS ke dalam kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada
siswa-siswi.
Istilah
IPS pertama kali muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun
1972 di Tawamangu, Solo. Ada 3 istlah yang muncul dari Seminar Nasional di
Tawamangu dan digunakan secara bertukar, yaitu:
1. Pengetahuan Sosial / Social Science
2. Studi Sosial / Social Studies
3. Ilmu Pengetahuan Sosial / Social Education
Pembahasan mengenai latar belakang
lahirnya IPS akan dilihat dari dua aspek, yakni latar belakang sosiologis dan
pedagogis dengan mempertimbangkan aspek kemasyarakatan dan ilmu-ilmu sosial
yang dikaji dalam IPS. Ilmu Pengetahuan Sosisal (IPS) adalah terjemahan dari
Social Studies. Perkembanagan IPS dapat kita lihat melalui sejarah Social Studies yang dikembangkan oleh Amerika
Serikat (AS) dalam karya akademis dan dipublikasikian oleh National Council for
the Social Studies (NCSS) pada pertemuan organisasi tersebut tahun 1935 sampai
sekarang.
Definisi
tentang “Social Studies” yaitu ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk
tujuan pendididkan, kemudian pengertian ini dibakukan “Social Studies” meliputi
aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi,
pisikologi, ilmu geografi, dan filsafat yang dalam praktiknya dipilih untuk
tujuan pembelajaran di sekolah dan di perguruan tinggi.
Dalam
pengertian awal “Social Studies” tersebut diatas terkandung hal-hal sebagai
berikut:
1. Social Studies merupakan turunan dari
ilmu-ilmu sosial
2. Disiplin ini dikembangkan untuk memenuhi
tujuan pendidikan atau pembelajaran, baik pada tingkat sekolah maupun tingkat pendidikan tinggi.
3. Aspek-asoek dari masing-masing disiplin ilmu
sosial itu perlu diseleksi sesuai dengan tujuan tersebut.
Pada
tahun 1940-1960 ditegaskan oleh Barr, dkk (1977:36) yaitu terjadinya tarik
menarik antara dua visi Social Studies. Di satu pihak, adanya gerakan untuk
mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizenship
education, yang terus bergulir sampai mencapai tahap yang lebih canggih. Di
pihak lain, terus bergulirnya gerakan pemisahan sebagai disiplin ilmu-ilmu
sosial yang cenderung memperlemah konsepsi social studies education. Hal
tersebut, merupakan dampak dari berbagai penelitian yang dirancang untuk
mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama yang berkenaan dengan pengertian dan
sikap siswa.
Benyaknya
gerakan-gerakan yang muncul akibat dari tekanan yang cukup dahsyat untuk mereformasi
Social Studies. Mereka menganggap perlu
adanya perubahan pembelajaran Social Studies menjadi pembelajaran yang
berorientasi the integrated, reflected inquiry, and problem centered (Barr,
dkk.; 41-82) dan memperkuat munculnya gerakan The new Social Studies.
Atas
pendapat para pakar, akhirnya para sejarawan, ahli ilmu sosial, dan pendidikan
sepakat untuk melakukan reformasi Social Studies dengan menggunakan cara yang
berbeda dari sebelum pendekatan tersebut adalah dengan melalui proses
pengembangan kurikulum sekelompok pendidik, ahli psikologi, dan ahli ilmu
sosial secara bersama-sama mengembangkan bahan ajar berdasarkan temuan
penelitian dan teori belajar, kemudian diujicobakan di lapanagan, selanjutnya
direvisi, dan pada akhirnya disebarluaskan untuk digunakan secara luas dalam
dunia persekolahan.
Jika
dilihat dari Visi misi dan strateginya, Barr, dkk. (1978:1917) Social Studies
telah dan dapat dikembangkan dalam tiga tradisi, yaitu:
1. Social Studies Taught as citizenship
Transmission
Merujuk
pada suatu modus pembelajaran sosial yang bertujuan untuk mengembangkan warga
negara yang baik sesuai dengan norma yang telah diterima secara baku dalam
negaranya.
2. Social Studies Taught social Science
Merupakan
modus pembelajaran sosial yang juga mengembangkan karakter warga negara yang
baik yang ditandai oleh penguasaan tradisi yang menitik beratkan pada warga
Negara yang dapat mengatasi masalah-masalah sosial dan personal dengan
menggunakan visi dan cara ilmuan sosial.
3. Social Studies Taught as Reflective Inquiry
Merupakan
modus pembelajaran sosial yang menekankan pada hal yang sama yakni pengembangan
warga negara yang baik dengan kriteria yang berbeda yaitu dilihat dari kemampunnya
dalam mengambil keputusan’
Tahun
1992, the board of direction of the national Council for the social studies
mengadopsi visi ternaru mengenai Social Studies, yang kemudian diterbitkan
resmi oleh NCSS pada tahun 1994 denga judul Expectation of Excellence:
Curriculum Standard for Social Studies. Sebagai rambu-rambu dalam rangka
mewujudkan visi, misi, dan strategi baru
Social Studies, NCSS (1994) menggariskan hal-hal sebagai berikut:
1. Program Social Studies mempunyai tujuan
pokok yang ditegaskan kembali bahwa civic competence bukanlah hanya menjadi
tanggung jawab Social Studies.
2. Program Social Studies dalam dunia
pendidikan persekolahan, mulai dari taman kanak-kanak sampai ke pendidikan
menengah, ditandai oleh keterpaduan “ …knowlwdge, skill, and attitudes within
and across disciplines (NCSS, 1994:3).
3. Program Social Studies dititik beratkan
pada upaya membantu siswa dalam construct a knowledge base and attitude drawn
from academic discipline as specialized ways of viewing reality (NCSS, 1994:4).
4. Program Social Studies mencerminkan “ …the
changing nature of knowledge, fostering entirely new and highly integrated
approaches to resolving issues of significance to humanity” (NCSS, 1994:5).
A. Latar Belakang Sosiologis
Tinjauan terhadap latar belakang
sosiologis difokuskan pada tempat lahirnya IPS yang pada awalnya bernama social
studies. IPS dengan nama social studies pertama kali digunakan dalam kurikulum
sekolah Rugby di Inggris pada tahun 1827. Dr. Thomas Arnold, direktur sekolah
tersebut adalah orang pertama yang berjasa memasukkan IPS (social studies) ke
dalam kurikulum sekolah.
Latar belakang dimasukkannya IPS ke
dalam kurikulum sekolah berangkat dari kondisi masyarakat Inggris pada waktu
itu yang tengah mengalami kekacauan akibat revolusi industri yang melanda
negara itu. Masyarakat dan peradaban Inggris terancam dekadensi, karena
mekanisasi industri telah menimbulkan kesulitan besar bagi masyarakat Inggris,
terutama kaum buruh.
Kaum
kapitalis dan pemerintah yang kurang memperhatikan nasib kaum buruh yang
mengakibatkan terjadinya pemerasan dan penindasan. Selain itu, di Inggris juga
terjadi persaingan di kalangan buruh sendiri, yang menyebabkan hidup kaum tidak
punya (the haves not) menjadi sangat menderita. Kehidupan antar kaum buruh dan
antara buruh dengan majikan digambarkan oleh filosuf Inggris Thomas Hobbes
sebagai homo homoni lopus bellum omnium contra omnes ( manusia adalah srigala
bagi yang lain, mereka saling berperang).
Singkatnya,
manusia menjadi kehilangan kemanusiaannya (dehumanisasi).Sebagai respon
terhadap keadaan yang demikian ironis, Arnold memasukkan IPS ke dalam kurikulum
sekolahnya. Upayanya kemudian ditiru oleh banyak sekolah lainnya, dan sekaligus
menjadi awal berkembangnya IPS sebagai matapelajaran di sekolah.
Latar
belakang munculnya IPS di Amerika Serikat berbeda dari Inggris. Setelah Perang
Budak atau Perang Saudara antara penduduk Utara-Selatan (1861- 1865), di
Amerika terjadi kekacauan sosial. Masyarakat Amerika Serikat yang sangat
beragam belum merasa menjadi satu bangsa. Segregasi sosial masih kental dan lekat
dengan kehidupan masyarakat Amerika pada saat itu.
Sebagai
respon atas keadaan masyarakat tersebut, para ahli kemasyarakatan Amerika
Serikat mencari upaya untuk membantu proses pembentukan bangsa Amerika Serikat,
antara lain dengan mengembangkan IPS sebagai jawaban atas situasi sosial. IPS
dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, yang dipelopori oleh sekolah-sekolah di
negara bagian Wisconsin sejak 1892. Setelah dipelajari secara terus menerus
sampai awal dasa warsa abad ke-20, pada tahun 1916 panitia nasional untuk
pendidikan menengah Amerika Serikat menyetujui pengembangan dan pemasukan IPS
ke dalam kurikulum sekolah.
Paparan tersebut menggambarkan bahwa
situasi masyarakat di Inggris pada tahun 1827, yaitu awal industri modern,
mirip dengan keadaan masyarakat Indonesia dewasa ini. Industri sedang
berkembang dan tanda-tanda dehumanisasi nampak pula di Indonesia. Di antara
indikator yang menunjukkan kemiripan tersebut adalah terjadinya berbagai tindak
kejahatan, seperti perampokan yang disertai pembunuhan, kurang terjaminnya kaum
buruh, individualisme yang mulai menggerayangi masyarakat perkotaan, tindakan
mengobyekkan para penganggur dan pencari pekerjaan melalui human trafficing,
terdesaknya alat-alat produksi tradisional oleh alat produksi buatan negara asing,
dan penumpukan kekayaan pada golongan minoritas.
Keadaan
masyarakat yang demikian mengingatkan pada betapa pentingnya pembentukan jiwa
sosial yang humanis sedini mungkin melalui pembelajaran IPS di sekolah-sekolah.
B. Latar belakang Pedagogis
Di samping sebagai reaksi atas
keadaan masyarakat, seperti di Inggris, Amerika, dan Indonesia, lahirnya IPS
juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menyiapkan peserta didik agar
menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab, yakni dapat mewujudkan kewajiban
dan hak-haknya dalam kehidupan sehari-hari.Dengan mempelajari IPS, peserta
didik diharapkan akan menjadi warga masyarakat yang tidak individualistik, yang
hanya mementingkan kebutuhan sendiri, dan mengesampingkan kebutuhan orang lain
atau warga masyarakat lainnya. Sebaliknya, mereka diharapkan menjadi warga
masyarakat yang memiliki watak sosial yang selalu sadar bahwa hidupnya hanya
dapat berlangsung bersama dan bekerja sama dengan orang lain, dan orang lain hanya
mau hidup bersama dan bekerja sama bila mendapat perlakuan yang baik dari
mereka.
Disiplin
ilmu-ilmu sosial dipandang tidak mendukung prinsip pedagogis di atas, karena
berbagai disiplin itu membawa masyarakat dalam keadaan terpisahpisah. Pengajaran
IPS juga lebih dekat dengan keadaan sekarang yang ada dalam lingkungan
hidupnya. Dengan demikian tidaklah terlalu sukar bagi peserta didik untuk
mengamati, menggambarkan dan memikirkannya, karena masih berada dalam jangkauan
mereka, baik dari segi waktu maupun tempatnya.
Itulah
latar belakang pedagogis dikembangnya IPS. Mengingat berbagai kemiripan dan
kegunaanya bagi pembinaan masyarakat Indonesia, maka pengembangan IPS di dunia
pendidikan di Indonesia merupakan kebutuhan pedagogis sebagaimana halnya
pengalaman di Inggris dan Amerika Serikat sebagai wahana pembinaan sikap sosial
bagi peserta didik.
B.
Tiga Tradisi Pembelajaran IPS
Pembelajaran
IPS memiliki tiga tradisi yang berbeda satu dengan yang lain. Ketiga tradisi
tersebut adalah:
•
Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan,
•
Pembelajaran IPS sebagai ilmu sosial, dan
•
Pembelajaran IPS sebagai inkuiri yang reflektif.
Gambaran
tentang ketiga tradisi pembelajaran IPS tersebut akan dipaparkan dalam bahasan
berikut.
a) Pembelajaran
IPS sebagai Transmisi Kewarganegaraan
b) Pembelajaran
IPS sebagai transmisi kewarganegaraan merupakan strategi
c) pengajaran
IPS yang berhubungan dengan penanaman tingkah laku,
d) pengetahuan,
pandangan, dan nilai yang harus dimiliki oleh peserta didik.
Tingkah
laku, pengetahuan, pandangan dan nilai yang akan diajarkan harus sesuai dengan
kekayaan nilai-nilai budaya yang berkembang di lingkungan peserta didik dan
guru yang mengajarkan IPS. Hal ini dimaksudkan agar nilainilai budaya yang ada
dalam masyarakat dapat ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Pembelajaran
IPS sebagai transmisi kewarganegaraan merupakan proses pewarisan budaya dalam
suatu masyarakat tertentu. Pewarisan budaya ini merupakan budaya yang memilki
nilai-nilai yang baik dan disepakati oleh masyarakat.
Pembelajaran
IPS model transmisi kewarganegaraan di Amerika Serikat bertujuan membina warga
negara agar dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang baik, taat kepada
hukum, membayar pajak, memenuhi kewajiban belajar, dan memiliki dorongan diri
yang kuat untuk mempertahankan negara (Sumaatmadja,1980). Pembelajaran IPS
sebagai transmisi kewarganegaraan juga merupakan suatu proses pewarisan budaya
dalam suatu masyarakat tertentu. Pewarisan budaya ini tentu merupakan budaya
yang memilki nilai-nilai yang baik dan disepakati oleh masyarakat, sehingga
dapat membentuk warga negara yang dapat memenuhi kewajiban, taat pada hukum,
dan bertanggung jawab dalam pembelaan negara.
Tradisi
pembelajaran IPS model transmisi kewarganegaaraan ini, oleh sebagian ahli
dipandang sebagai bentuk proses pendidikan yang statis, bahkan konservatif. Hal
ini dikarenakan di tengah kehidupan masyarakat yang dinamis di tengah
perkembangan dunia yang terus mengalami perubahan, setiap anak manusia dituntut
untuk memiliki kemampuan, pemikiran, dan keterampilan yang lebih luas dan
kompleks. Jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang
berkembang, maka pembelajaran model transmisi kewarganegaraan ini kurang
relevan. Oleh karena itu, proses pembelajaran IPS yang relevan untuk masyarakat
Indonesia saat ini perlu terus dikembangkan.
§ Pembelajaran
IPS sebagai Ilmu Sosial
§ Pembelajaran
IPS sebagai ilmu sosial didasarkan pada asumsi bahwa
§ peserta
didik dapat berpikir secara kritis, mampu mengobservasi dan
§ meneliti
seperti apa yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial.
Tujuan
pengajaran IPS sebagai ilmu sosial adalah menciptakan warga negara yang mampu
belajar dan berpikir secara baik, seperti yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial.
Kondisi tersebut sesuai dengan
keinginan para ahli ilmu sosial bahwa anggota masyarakat sejak usia muda dapat
mengamati dunia sekitarnya melalui penglihatan seperti ahli ilmu sosial,
mengajukan berbagai pertanyaan, dan menerapkan metode analisis serta
catatan
; Disiplin ilmu adalah ilmu/pengetahuan yg kita dalami dan merupakan keahlian
utama kita...sifatnya lebih detail/spesifik bukan secara umum.
like
ReplyDelete