Blogroll

mustaqim

Popular Post

Home » » Sejarah IPS di dunia

Sejarah IPS di dunia

Written By Unknown on Sunday, October 13, 2013 | 12:05 PM

A. Latar Belakang sejarah IPS di dunia
            Pada tahun 1935 terjadi polemic diantara kalangan intelektual Amerika Serikat ( AS ) mengenai Ilmu Pengetahuan Sosial yang lebih dikenal dengan Social Studies, kemudian hal tersebut dipublikasikan oleh Organisasi yang bernama Nationa Council for The Sosial Studies. tapi hal itu tidak berlansung lama karena menurut L.Tildsley hal itu memberi tanda sejak awal pertumbuhannya bidang social studies dihadapkan kepada tantangan untuk dapat membangun dirinya sebagai suatu disiplin yang solid.
Defenisi tentang social studies menurut Edgar Bruce Wesley pada tahun 1937 ( Barr, Bart dan Shermis, 1977:2) yaitu : The social Studies are the social sciences simplified for pedagogical purpose” Ilmu Sosial itu yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Yang meliputi,aspek–aspek,seperti.ilmu,sejarah,ekonomi,politik, sosiologi,antropologi,psikologi,geografi, dan filsafat, yang praktiknya digunakan dalam pembelajaran di sekolah maupun perguruan tinggi. Pada perkisaran tahun1940 – 1950 NCSS mendapat serangan yang berkisar tentang perlu atau tidaknya Sosial Studies untuk remaja bersikap demokratis dan kritis, sehingga munculah sikap penekanan terhadap fakta – fakta sejarah dan budaya yang ada.
Namun pada tahun 1960 timbul satu gerakan akademis yang lebih dikenal dengan the new social studies yang dipelopori oleh sejarawan dan ahli – ahli ilmu social untuk mengembangkan proyek yang menciptakan kurikulum dan memproduksi bahan belajar yang sangat inovatif dan menantang dalam skala besar. Tapi sampai tahun 1970an hal itu belum juga terwujud, tapi jika kembali pada penuturan Barr dkk 1977 yaitu dua visi yang berbeda dalam social studies yaitu citizhenship education ( pendidikan kewarganegaraan ) atau social studies Education ( Ilmu pendidikan social ) hal itu juga dipengaruhi oleh PD II.
Pada tahun 1955 terjadi terobosan yang besar, berupa inovasi oleh Maurice Hunt dan Lawrence metcalft yang mencoba cara baru dalam pengintegrasian pengetahuan dan keterampilan ilmu social untuk tujuan citizhenship education, mengubah program Sosial studies disekolah yang dahulunya Closed Area ( hal – hal yang tabu dalam masyarakat ) menjadi refleksi rasional dalam mengupayakan siswa dapat mengambil keputusan mengenai masalah – masalah public. Sehingga bisa melatih keterampilan reflektif thinking ( berfikif reflek ) dan berfikir secara kritis.
Gerakan the new social studies pada tahun 1960 masih belum efektif dalam mengajarkan substansi perubahan sikap siswa, sehingga para sejarawan dan ahli – ahli ilmu social bersatu untuk meningkatkan social studies kepada higher level of intellectual pursuit yang melahirkan social science education.
Menurut Barr dkk, mendefinisikan social studies dalam beberapa bagian yaitu :social studies merupakan satu system pengetahuan yang terpadu, kedua misi utama social studies adalah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis, ketiga sumber utama konten social studies adalah social sciene dan humanitier, keempat dalam upaya penyiapan warga Negara yang demokratis terbuka kemungkinan perbedaan dalam orientasi, visi tujuan dan metode pembelajaran. diantaranya lahirlah visi, misi dan strategi social studies itu adalah
1. Sosial studies taught as citizenship transmission
2. Sosial studies taught as social science
3. Sosial studies taught as reflective inquiry.
Jika dilihat dari definisi dan tujuan social studies maka terkandung beberapa hal, pertama social studies merupakan mata pelajaran dasar diseluruh jenjang pendidikan persekolahan, kedua tujuan utama mata pelajaran ini ialah mengembangkan siswa untuk menjadi warga Negara yang memiliki pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan untuk berperan serta dalam kehidupan berdemokrasi. Ketiga konten pelajarannya digali dan diseleksi dari sejarah dan ilmu – ilmu social. Keempat pembelajarannya menggunakan cara – cara yang mencerminkan kesadaran pribadi, kemasyarakatan, pengalaman budaya, perkembangan pribadi siswa.
Di awal tahun 1994 the board of direction of the national council for the social studies menerbitkan Dokumen resmi yang diberi nama Expectations of Exellence: curriculum Standard for social studies. Dokumen ini yang sedang mewarnai pemikiran praksis social studies di AS sampai saat ini. dalam dunia pendidikan NCSS juga menggariskan bahwa dalam pendidikan mulai dari Taman kanak – kanak sampai pendidikan menengah memiliki keterpaduan “ Knowledge,Skills, and attitudes within and across disipliner “, pada kelas rendah ditekankan pada social studies yang tidak mengikat atau bisa bertolak dari tema – tema tertentu.   
Ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah social studies. Istilah tersebut pertama kali digunakan sebagai nama sebuah lembaga yang diberi nama committee of social studies.
            Lembaga ini merupakan himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli ilmu sosial yang mempunyai minat yang sama. Nama lembaga ini kemudian dipergunakan untuk nama kurikulum yang mereka hasilkan, yakni kurikulum social studies. Nama social studies makin terkenal ketika pemerintah mulai memberikan dana untuk mengembangkan kurikulum tersebut. Kurikulum tersebut ahirnya dikembangkan dengan nama kurikulum social studies. Di Indonesia social studies dikenal dengan nama studi sosial. Dalam Kurikulum 1975, pendidikan ilmu sosial kemudian ditetapkan dengan nama Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). IPS merupakan sebuah mata pelajaran yang dipelajari dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi pada jurusan atau progrsam studi tertentu.
            Agar uraian mengenai latar belakang lahirnya IPS lebih jelas, dalam paket ini dikemukakan pengalaman beberapa negara yang memasukan IPS ke dalam kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada siswa-siswi.
Istilah IPS pertama kali muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawamangu, Solo. Ada 3 istlah yang muncul dari Seminar Nasional di Tawamangu dan digunakan secara bertukar, yaitu:
1.         Pengetahuan Sosial / Social Science
2.         Studi Sosial / Social Studies
3.         Ilmu Pengetahuan Sosial / Social Education
            Pembahasan mengenai latar belakang lahirnya IPS akan dilihat dari dua aspek, yakni latar belakang sosiologis dan pedagogis dengan mempertimbangkan aspek kemasyarakatan dan ilmu-ilmu sosial yang dikaji dalam IPS. Ilmu Pengetahuan Sosisal (IPS) adalah terjemahan dari Social Studies. Perkembanagan IPS dapat kita lihat melalui sejarah  Social Studies yang dikembangkan oleh Amerika Serikat (AS) dalam karya akademis dan dipublikasikian oleh National Council for the Social Studies (NCSS) pada pertemuan organisasi tersebut tahun 1935 sampai sekarang.
Definisi tentang “Social Studies” yaitu ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendididkan, kemudian pengertian ini dibakukan “Social Studies” meliputi aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, pisikologi, ilmu geografi, dan filsafat yang dalam praktiknya dipilih untuk tujuan pembelajaran di sekolah dan di perguruan tinggi.
Dalam pengertian awal “Social Studies” tersebut diatas terkandung hal-hal sebagai berikut:
1.      Social Studies merupakan turunan dari ilmu-ilmu sosial
2.    Disiplin ini dikembangkan untuk memenuhi tujuan pendidikan atau pembelajaran, baik pada tingkat  sekolah maupun tingkat pendidikan tinggi.
3.   Aspek-asoek dari masing-masing disiplin ilmu sosial itu perlu diseleksi sesuai dengan tujuan tersebut.
Pada tahun 1940-1960 ditegaskan oleh Barr, dkk (1977:36) yaitu terjadinya tarik menarik antara dua visi Social Studies. Di satu pihak, adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizenship education, yang terus bergulir sampai mencapai tahap yang lebih canggih. Di pihak lain, terus bergulirnya gerakan pemisahan sebagai disiplin ilmu-ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsepsi social studies education. Hal tersebut, merupakan dampak dari berbagai penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama yang berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa. 
Benyaknya gerakan-gerakan yang muncul akibat dari tekanan yang cukup dahsyat untuk mereformasi Social Studies.  Mereka menganggap perlu adanya perubahan pembelajaran Social Studies menjadi pembelajaran yang berorientasi the integrated, reflected inquiry, and problem centered (Barr, dkk.; 41-82) dan memperkuat munculnya gerakan The new Social Studies.
Atas pendapat para pakar, akhirnya para sejarawan, ahli ilmu sosial, dan pendidikan sepakat untuk melakukan reformasi Social Studies dengan menggunakan cara yang berbeda dari sebelum pendekatan tersebut adalah dengan melalui proses pengembangan kurikulum sekelompok pendidik, ahli psikologi, dan ahli ilmu sosial secara bersama-sama mengembangkan bahan ajar berdasarkan temuan penelitian dan teori belajar, kemudian diujicobakan di lapanagan, selanjutnya direvisi, dan pada akhirnya disebarluaskan untuk digunakan secara luas dalam dunia persekolahan.
Jika dilihat dari Visi misi dan strateginya, Barr, dkk. (1978:1917) Social Studies telah dan dapat dikembangkan dalam tiga tradisi, yaitu:
1.        Social Studies Taught as citizenship Transmission
Merujuk pada suatu modus pembelajaran sosial yang bertujuan untuk mengembangkan warga negara yang baik sesuai dengan norma yang telah diterima secara baku dalam negaranya.
2.        Social Studies Taught social Science
Merupakan modus pembelajaran sosial yang juga mengembangkan karakter warga negara yang baik yang ditandai oleh penguasaan tradisi yang menitik beratkan pada warga Negara yang dapat mengatasi masalah-masalah sosial dan personal dengan menggunakan visi dan cara ilmuan sosial.
3.       Social Studies Taught as Reflective Inquiry
Merupakan modus pembelajaran sosial yang menekankan pada hal yang sama yakni pengembangan warga negara yang baik dengan kriteria yang berbeda yaitu dilihat dari kemampunnya dalam mengambil keputusan’
Tahun 1992, the board of direction of the national Council for the social studies mengadopsi visi ternaru mengenai Social Studies, yang kemudian diterbitkan resmi oleh NCSS pada tahun 1994 denga judul Expectation of Excellence: Curriculum Standard for Social Studies. Sebagai rambu-rambu dalam rangka mewujudkan  visi, misi, dan strategi baru Social Studies, NCSS (1994) menggariskan hal-hal sebagai berikut:
1.      Program Social Studies mempunyai tujuan pokok yang ditegaskan kembali bahwa civic competence bukanlah hanya menjadi tanggung jawab Social Studies.
2.      Program Social Studies dalam dunia pendidikan persekolahan, mulai dari taman kanak-kanak sampai ke pendidikan menengah, ditandai oleh keterpaduan “ …knowlwdge, skill, and attitudes within and across disciplines (NCSS, 1994:3).
3.      Program Social Studies dititik beratkan pada upaya membantu siswa dalam construct a knowledge base and attitude drawn from academic discipline as specialized ways of viewing reality (NCSS, 1994:4).
4.      Program Social Studies mencerminkan “ …the changing nature of knowledge, fostering entirely new and highly integrated approaches to resolving issues of significance to humanity” (NCSS, 1994:5).

A. Latar Belakang Sosiologis
            Tinjauan terhadap latar belakang sosiologis difokuskan pada tempat lahirnya IPS yang pada awalnya bernama social studies. IPS dengan nama social studies pertama kali digunakan dalam kurikulum sekolah Rugby di Inggris pada tahun 1827. Dr. Thomas Arnold, direktur sekolah tersebut adalah orang pertama yang berjasa memasukkan IPS (social studies) ke dalam kurikulum sekolah.
            Latar belakang dimasukkannya IPS ke dalam kurikulum sekolah berangkat dari kondisi masyarakat Inggris pada waktu itu yang tengah mengalami kekacauan akibat revolusi industri yang melanda negara itu. Masyarakat dan peradaban Inggris terancam dekadensi, karena mekanisasi industri telah menimbulkan kesulitan besar bagi masyarakat Inggris, terutama kaum buruh.
Kaum kapitalis dan pemerintah yang kurang memperhatikan nasib kaum buruh yang mengakibatkan terjadinya pemerasan dan penindasan. Selain itu, di Inggris juga terjadi persaingan di kalangan buruh sendiri, yang menyebabkan hidup kaum tidak punya (the haves not) menjadi sangat menderita. Kehidupan antar kaum buruh dan antara buruh dengan majikan digambarkan oleh filosuf Inggris Thomas Hobbes sebagai homo homoni lopus bellum omnium contra omnes ( manusia adalah srigala bagi yang lain, mereka saling berperang).
Singkatnya, manusia menjadi kehilangan kemanusiaannya (dehumanisasi).Sebagai respon terhadap keadaan yang demikian ironis, Arnold memasukkan IPS ke dalam kurikulum sekolahnya. Upayanya kemudian ditiru oleh banyak sekolah lainnya, dan sekaligus menjadi awal berkembangnya IPS sebagai matapelajaran di sekolah.
Latar belakang munculnya IPS di Amerika Serikat berbeda dari Inggris. Setelah Perang Budak atau Perang Saudara antara penduduk Utara-Selatan (1861- 1865), di Amerika terjadi kekacauan sosial. Masyarakat Amerika Serikat yang sangat beragam belum merasa menjadi satu bangsa. Segregasi sosial masih kental dan lekat dengan kehidupan masyarakat Amerika pada saat itu.
Sebagai respon atas keadaan masyarakat tersebut, para ahli kemasyarakatan Amerika Serikat mencari upaya untuk membantu proses pembentukan bangsa Amerika Serikat, antara lain dengan mengembangkan IPS sebagai jawaban atas situasi sosial. IPS dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, yang dipelopori oleh sekolah-sekolah di negara bagian Wisconsin sejak 1892. Setelah dipelajari secara terus menerus sampai awal dasa warsa abad ke-20, pada tahun 1916 panitia nasional untuk pendidikan menengah Amerika Serikat menyetujui pengembangan dan pemasukan IPS ke dalam kurikulum sekolah.
            Paparan tersebut menggambarkan bahwa situasi masyarakat di Inggris pada tahun 1827, yaitu awal industri modern, mirip dengan keadaan masyarakat Indonesia dewasa ini. Industri sedang berkembang dan tanda-tanda dehumanisasi nampak pula di Indonesia. Di antara indikator yang menunjukkan kemiripan tersebut adalah terjadinya berbagai tindak kejahatan, seperti perampokan yang disertai pembunuhan, kurang terjaminnya kaum buruh, individualisme yang mulai menggerayangi masyarakat perkotaan, tindakan mengobyekkan para penganggur dan pencari pekerjaan melalui human trafficing, terdesaknya alat-alat produksi tradisional oleh alat produksi buatan negara asing, dan penumpukan kekayaan pada golongan minoritas.
Keadaan masyarakat yang demikian mengingatkan pada betapa pentingnya pembentukan jiwa sosial yang humanis sedini mungkin melalui pembelajaran IPS di sekolah-sekolah.
B. Latar belakang Pedagogis
            Di samping sebagai reaksi atas keadaan masyarakat, seperti di Inggris, Amerika, dan Indonesia, lahirnya IPS juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menyiapkan peserta didik agar menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab, yakni dapat mewujudkan kewajiban dan hak-haknya dalam kehidupan sehari-hari.Dengan mempelajari IPS, peserta didik diharapkan akan menjadi warga masyarakat yang tidak individualistik, yang hanya mementingkan kebutuhan sendiri, dan mengesampingkan kebutuhan orang lain atau warga masyarakat lainnya. Sebaliknya, mereka diharapkan menjadi warga masyarakat yang memiliki watak sosial yang selalu sadar bahwa hidupnya hanya dapat berlangsung bersama dan bekerja sama dengan orang lain, dan orang lain hanya mau hidup bersama dan bekerja sama bila mendapat perlakuan yang baik dari mereka.
Disiplin ilmu-ilmu sosial dipandang tidak mendukung prinsip pedagogis di atas, karena berbagai disiplin itu membawa masyarakat dalam keadaan terpisahpisah. Pengajaran IPS juga lebih dekat dengan keadaan sekarang yang ada dalam lingkungan hidupnya. Dengan demikian tidaklah terlalu sukar bagi peserta didik untuk mengamati, menggambarkan dan memikirkannya, karena masih berada dalam jangkauan mereka, baik dari segi waktu maupun tempatnya.
Itulah latar belakang pedagogis dikembangnya IPS. Mengingat berbagai kemiripan dan kegunaanya bagi pembinaan masyarakat Indonesia, maka pengembangan IPS di dunia pendidikan di Indonesia merupakan kebutuhan pedagogis sebagaimana halnya pengalaman di Inggris dan Amerika Serikat sebagai wahana pembinaan sikap sosial bagi peserta didik.
B. Tiga Tradisi Pembelajaran IPS
Pembelajaran IPS memiliki tiga tradisi yang berbeda satu dengan yang lain. Ketiga tradisi tersebut adalah:
• Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan,
• Pembelajaran IPS sebagai ilmu sosial, dan
• Pembelajaran IPS sebagai inkuiri yang reflektif.
Gambaran tentang ketiga tradisi pembelajaran IPS tersebut akan dipaparkan dalam bahasan berikut.
a)      Pembelajaran IPS sebagai Transmisi Kewarganegaraan
b)      Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan merupakan strategi
c)      pengajaran IPS yang berhubungan dengan penanaman tingkah laku,
d)     pengetahuan, pandangan, dan nilai yang harus dimiliki oleh peserta didik.
Tingkah laku, pengetahuan, pandangan dan nilai yang akan diajarkan harus sesuai dengan kekayaan nilai-nilai budaya yang berkembang di lingkungan peserta didik dan guru yang mengajarkan IPS. Hal ini dimaksudkan agar nilainilai budaya yang ada dalam masyarakat dapat ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan merupakan proses pewarisan budaya dalam suatu masyarakat tertentu. Pewarisan budaya ini merupakan budaya yang memilki nilai-nilai yang baik dan disepakati oleh masyarakat.
Pembelajaran IPS model transmisi kewarganegaraan di Amerika Serikat bertujuan membina warga negara agar dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang baik, taat kepada hukum, membayar pajak, memenuhi kewajiban belajar, dan memiliki dorongan diri yang kuat untuk mempertahankan negara (Sumaatmadja,1980). Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan juga merupakan suatu proses pewarisan budaya dalam suatu masyarakat tertentu. Pewarisan budaya ini tentu merupakan budaya yang memilki nilai-nilai yang baik dan disepakati oleh masyarakat, sehingga dapat membentuk warga negara yang dapat memenuhi kewajiban, taat pada hukum, dan bertanggung jawab dalam pembelaan negara.
Tradisi pembelajaran IPS model transmisi kewarganegaaraan ini, oleh sebagian ahli dipandang sebagai bentuk proses pendidikan yang statis, bahkan konservatif. Hal ini dikarenakan di tengah kehidupan masyarakat yang dinamis di tengah perkembangan dunia yang terus mengalami perubahan, setiap anak manusia dituntut untuk memiliki kemampuan, pemikiran, dan keterampilan yang lebih luas dan kompleks. Jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang berkembang, maka pembelajaran model transmisi kewarganegaraan ini kurang relevan. Oleh karena itu, proses pembelajaran IPS yang relevan untuk masyarakat Indonesia saat ini perlu terus dikembangkan.
§  Pembelajaran IPS sebagai Ilmu Sosial
§  Pembelajaran IPS sebagai ilmu sosial didasarkan pada asumsi bahwa
§  peserta didik dapat berpikir secara kritis, mampu mengobservasi dan
§  meneliti seperti apa yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial.
Tujuan pengajaran IPS sebagai ilmu sosial adalah menciptakan warga negara yang mampu belajar dan berpikir secara baik, seperti yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial.
            Kondisi tersebut sesuai dengan keinginan para ahli ilmu sosial bahwa anggota masyarakat sejak usia muda dapat mengamati dunia sekitarnya melalui penglihatan seperti ahli ilmu sosial, mengajukan berbagai pertanyaan, dan menerapkan metode analisis serta

catatan ; Disiplin ilmu adalah ilmu/pengetahuan yg kita dalami dan merupakan keahlian utama kita...sifatnya lebih detail/spesifik bukan secara umum.

1 komentar:

Comment

Powered by Blogger.

Test Footer